Pensil
Pagi hari
burung-burung telah singgah dari tempat tidurnya sehingga ia bebas menghirup
udara segar, bayi-bayi mulai meramaikan pagi sehingga suasana terlihat ramai
dan indah, aku harus mempersiapkan peralatan sekolahku entah aku harus
memikirkan yang lain kecuali memikirkan jalan-jalan menuju sekolahku. terlihat
tampak jelas ketika suara-suara bising menggema di ruangan tempat belajarku.
Ibu memanggil untuk sarapan pagi, entah
kenapa harus teka-teki soal menjadi sarapan otakku sehingga perutpun harus ikut
serta.
Ibu aku lihat
tampak lelah sekali ia duduk di kursi depan sambil mengipas-ngipas tubuhnya
dari buku takterpakai. Namun ia dengan setianya tiap pagi harus mempersiapkan
sarapan pagi untuk ayah, untuk adik, lagi-lagi harus memikirkanku tiapa pagi ia
harus seperti itu aku tak tega melihatnya, senyum indah selalu menyambut hangat
keluarga, ketika matahari mualai bisa membakar tubuh-tubuh ia harus mencari
kayu di ladang sebelah. Ibu kerja hanya pendapatannya dua puluh lima ribu
perhari demi anaknya, bapakku kerja tukang becak tiga puluh ribu perhari hanya
saja penadapatan tak jelas mesti ia akan mendapatkan dua ribu perhari.
Sehabis ayah
pulang kerja ia selalu bercerita tenteng seorang turis yang selalu memboking
ayah untuk mengantarkan jalan-jalan keliling kota. Lantas berfikir apa pada
saat itu katanya menanyakan alamat rumah dan telfon bapak, sehingga ia dengan
senang hati memberikannya. Ayahpun tiada hentinya berdoa’a solat bareng bersama
keluarga, sehabis sholat pasti ayah menatap Ibu, Adikku aku juga. “Ingat jangan
lupa berdo’a rizki kita ada ditangan tuhan.” Namun sehabis sholat pasti ayah
terlentang di atas sejadah merenungi perjalanan anaknya lebih-lebih masa depan
keluarganya. Sehingga keringat menjadi cambuk dada, paying menjadi bajunya.
Konon orang bercerita seorang ayah emang lebih mengutamakan fisik di sertai
otak.
“Aku berangkat
dulu ya bu.” Pamitku sama ibu di halaman depan waktu ibu menyapu
“Iya nak
hati-hati dijalan.” Sambung ibuku sambil mengalurkan tangannya senyum maniz di
bibirnya menjadi saksi.
Perjalanan
kesekolah emang agak lumayan jauh sekitar lima kiloan, sehingga sesampai di
pintu gerbang udah tertutup rapi, penjaga pintu gerbang pas hari itu Kepala
sekolah entah kenapa saat itu tiba-tiba harus seperti ini. entahlah kenapa?
“Pak boleh aku
masuk.”
“tidak boleh
kaena kau sudah terlambat lebih lima belas menit.” Kata kepala sekolah sembari
memegag pintu gerbang
“Ayolah pak, aku…”
“Aku kenapa.”
Sambung kepala sekolah sebelum selesai aku bicara
kepala sekolah
tampak marah sekali karena terlalu banyak masalah yang aku alami baik dalam
kelas atau sehabis sekolah. Entahlah kenapa nasibku malang sekali sehingga harus
setiap hari menjalani hukuman tapi aku nggak bisa kalau harus berangkat
pagi-pagi benar. Aku harus Bantu ibuku menyapu.
“Ya, sudah lah
aku lebih baik pulang Bantu ibuku.” Kataku kembali memutar arah.
Di jalan
diantara lorong-lorong sempit selalu terbayang wajah sang ibu yang merestui
untuk berangkat sekolah sehingga malaikat-malaikat menebarkan sayapnya dusetiap
sudut jalanku. Namun hari ini kenapa harus seperti ini. sesampai di tikungan
perempatan aku melihat pohon rindang sekali yang dijadijadikan tempat singgah
oleh orang datang dari sawah. Masih celana dan bajunya basah kuyup dengan
Lumpur, aku mendekati orang itu dan akupun ditanya kok nggak sekolah Nak.
“Aku telat pak
nggak bisa masuk.” Kataku sama Bpk itu
“Ya guru
sekarang begitu, nggak tau ayahnya kayak gini kesawah ingin menyekolahkan
anaknya. Eeeh malah begitu.” Sambungnya dengan nada mellas
“Nggak taulah
pak. Aku karena Bantu ibu pagi jadi agak telat kesekolah.” Sambungku sambil
menatapa wajahnya.
Lama sekali
perbincanganku bersama kakek tua itu sehingga basah bajunya hilang menjadi
kering, Lumpur-lumpur menempal nggak kerasa mungkin semua Ini suah menunnjukkan
betapa perjuangannya orang tua kita sehingga harus seperti ini. mungkinkah
pemerintah pernah memperhatikan orang-orang yang kayak gini.?
Cahaya mentari sore ini seolah menandakan
kalau aku harus membantu ibuku mencari kayu ke lading belakang rumah, sehingga
setiaphari ibu selalu masuk kabut-kabut besar, kelihatannya kabut itu terlalu
banyak hewan buas. Keringat ibu mengalir ketubuhnya menjadikan saksi bisu.
Ayahku kelihatan
tampak bahagia sore ini sehingga tertaw bersama dalam kabut itu kelihatannya
tampak mesrah sekali seolah ke abadian untuk selamanya. Pohon cemara udang
menjadi lambang mesrah keluargaku sehingga sore ini dosa yang aku perbuat uda
terhapuskan meski memendah waktu pada waktu yang lain.
“Anisa. Kamu
kemana nak.” Panggil ayah
“Aku ada diatas
yah.”
“Jika ayah nanti
nggak bersuara kamu kesini yaaa.” Sambung ayah
“Iya ayah.”
Lima menit waktu
menjadi angin menghantuiku seolah ayah jua ibu dimakan harimau jua ular yang
berbisa lamunanku pecah karena kakek tua lewat menggendong rumput bertongkat
setengah bayah taklayak lagi jika ia harus melakukan kelakuan seberat ini.
“Mari nak.” kata
kakek itu bersuara di belakangku
“Iya mari kek.
Baru datang apa kek malam gini” sambungku
melihat matahari
mulai meraba bumi barat sehingga aku tak tega melihatnya, jika semua ini harus
terjadi pada keluargaku apa yang harus aku perbuat, angin-angin kencang meniup
rambut ubannya sehingga sangat terlihat sekali botak kepalanya dan rambut uban
yang agak sedikit panjang. Lalu lalang kakek tua itu duduk di atas bongkahan
batu kecil sehingga ia sangat terlihat begitu lelah, badannya kurus kering
menampakkan dirinya sebagai orang yang kelaparan tidak makan seharian bahkan
mungkin dua hari.
Suara dalam
kabut sepi tiada suara canda tawa kembali sehingga aku harus melihatnya kebawa
aku berfikir, jangan-jangan. Aku takkuasa melihat ayah dan ibuku
tersungkur kakuh di rumput-rumput kabut, mulutnya berdarah kakinya berdarah
semuanya sudah kelihatan pucat sekali.
“Tolong… tolong…
tolong.” Aku berteriak dalam kabut
“Ada apa nak.”
“Tolong Ayahku
dan Ibuku.”
“Loh kok bisa
disini.” Katanya kakek itu memegang tangan ayahku
kakek yang
terlihat kurus berbadan kerempeng kepala botak rambut uban, ternyata ia
sangatlah kuat. Sehingga ayah dan ibuku terangkat ke atas. Namun ia langsung
lari untuk minta tolong warga setempat untuk membawanya kerumah. Sesampai
dirumah ayah memanggil kakek itu utuk menemuinya kekamar entah apa yang di
bicarakan. Sepertinya emang tentang dirinya mengenai pengobatan.
Suara malam
mengetuk jendela senja sehingga akan menghadirkan senja untuk menghapus
gejala-gejala, jejak kotor manusia. Sangat tak kuasa menahan diri untuk
menangis karena Ayah jua Ibuku waktu subuh sudah meninggalkan dunia untuk
mencari alam yang lebih nyaman, Adikku keluarga yang lain akhirnya datang
kerumah karena suara tangis adikku jua aku taksanggup di reda. Kakek tua selalu
berbisik dekat hingga menempel ke telingaku ia selalu berbicara “sabar yaaa
nak manusia pasti akan memenuhi panggilannya.”. ayah akan di kebumikan
tepatnya jam 02.00 semuanya sudah siap.
Namun tiga hari
lagi aku akan UN aku harus bagaimana jika semua ini begini, aku duduk bersimpuh
rapu di jendela kosong akhirnya kakek itu selalu menghiburku lagi-lagi adikku
yang tiada hentinya menangisi Ayah jua Ibu. Aku sempat berfikir kenapa tuhan
harus menguji ummatnya dengan sangat berat sekali seolah segalanya yang aku punya
sudah di ambil. Kakek selalu menggendong adikku setiap kali ia akan di gendong
selalu mengatakan kakek itu Ayah.
Esok aku UN
kepada siapa aku harus mengadu Ayah, Ibu sudah tidak ada keluarga jua nggak ada
hingga akhir ini aku bingung bagaimana untuk siapa selalu menjadi pertanyaanku
setiap waktu.
“Nak aku ada
titipan dari ayahmu.” Tiba-tiba kakek berbicara di belakangku
“Apa kek.”
Sambungku
“Ini… pensil
untuk ujianmu.” Kakek itu sambil mengalurkan tangannya yang memegang pensil
Sebelum aku
mengambil pensil, tercipta wajah-wajah lelah sang Ayah serta Ibu yang tiapkali
mengingatkan sekaligus pengurbanannya yang tampak jelas di mata sehingga
alam-alam sekitar berubah menjadi suasana seolah sempit. Ketika kakek
memasrahkan untuk menjaga pensil itu semalam aku tak bisa memejamkan mata
sehingga tak ada satu buku UN yang aku buka sementara besok aku harus ujian
baru sadar ketika subuh mulai menyusup ke telinga dan waktu yang kosong.
Beberapa waktu
terlewati sehingga kini aku duduk di bangku UN. Tangan-tangan takkuasa memegang
pensil melihat soal-soal yang membacaku bukan aku membaca soal. Seolah semuanya
tampak jelas KETIDAK LULUSANku. Tiga
hari aku lalui UN sehingga akhirnya aku selesai mengerjakannya dengan baik.
Sesampai pengumuman pelulusan ada suara-suara tajam dalam dada sehingga ia
bilang kalau aku tidak lulus. Namun akhirnya Aya jua Ibu mendatangi prasaanku
ia bilang kalau aku lulus. Kekuatan apa yang sehingga aku bisa yakin dan
meyakini semua ini. lalu lalang jalan waktu aku lalui. Akududuk di deadpan rumah
dimana tempat Ibu duduk tiap pagi, tiba-tiba ada dieny memanggilku memecahkan
anganku mengabarkan kalau aku lulus UN.
Sekarang yang
ada dalam otakku kemana aku harus pergi menuntut ilmu. Karena ekonomi terbatas
malah yang ada akan menjadi pengangguran seperti teman-teman lain di
lingkunganku, Ayah dulu berpesan kalau aku harus menjadi orang sukses. Akhirnya
aku memutuskan dirumah untuk sementara waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar