Social Icons

Pages

Jumat, 26 Oktober 2012

Pencil

pencil


Pensil 

Pagi hari burung-burung telah singgah dari tempat tidurnya sehingga ia bebas menghirup udara segar, bayi-bayi mulai meramaikan pagi sehingga suasana terlihat ramai dan indah, aku harus mempersiapkan peralatan sekolahku entah aku harus memikirkan yang lain kecuali memikirkan jalan-jalan menuju sekolahku. terlihat tampak jelas ketika suara-suara bising menggema di ruangan tempat belajarku.
Ibu memanggil untuk sarapan pagi, entah kenapa harus teka-teki soal menjadi sarapan otakku sehingga perutpun harus ikut serta.
Ibu aku lihat tampak lelah sekali ia duduk di kursi depan sambil mengipas-ngipas tubuhnya dari buku takterpakai. Namun ia dengan setianya tiap pagi harus mempersiapkan sarapan pagi untuk ayah, untuk adik, lagi-lagi harus memikirkanku tiapa pagi ia harus seperti itu aku tak tega melihatnya, senyum indah selalu menyambut hangat keluarga, ketika matahari mualai bisa membakar tubuh-tubuh ia harus mencari kayu di ladang sebelah. Ibu kerja hanya pendapatannya dua puluh lima ribu perhari demi anaknya, bapakku kerja tukang becak tiga puluh ribu perhari hanya saja penadapatan tak jelas mesti ia akan mendapatkan dua ribu perhari.
Sehabis ayah pulang kerja ia selalu bercerita tenteng seorang turis yang selalu memboking ayah untuk mengantarkan jalan-jalan keliling kota. Lantas berfikir apa pada saat itu katanya menanyakan alamat rumah dan telfon bapak, sehingga ia dengan senang hati memberikannya. Ayahpun tiada hentinya berdoa’a solat bareng bersama keluarga, sehabis sholat pasti ayah menatap Ibu, Adikku aku juga. “Ingat jangan lupa berdo’a rizki kita ada ditangan tuhan.” Namun sehabis sholat pasti ayah terlentang di atas sejadah merenungi perjalanan anaknya lebih-lebih masa depan keluarganya. Sehingga keringat menjadi cambuk dada, paying menjadi bajunya. Konon orang bercerita seorang ayah emang lebih mengutamakan fisik di sertai otak.
“Aku berangkat dulu ya bu.” Pamitku sama ibu di halaman depan waktu ibu menyapu
“Iya nak hati-hati dijalan.” Sambung ibuku sambil mengalurkan tangannya senyum maniz di bibirnya menjadi saksi.
Perjalanan kesekolah emang agak lumayan jauh sekitar lima kiloan, sehingga sesampai di pintu gerbang udah tertutup rapi, penjaga pintu gerbang pas hari itu Kepala sekolah entah kenapa saat itu tiba-tiba harus seperti ini. entahlah kenapa?
“Pak boleh aku masuk.”
“tidak boleh kaena kau sudah terlambat lebih lima belas menit.” Kata kepala sekolah sembari memegag pintu gerbang
“Ayolah pak, aku…”
“Aku kenapa.” Sambung kepala sekolah sebelum selesai aku bicara
kepala sekolah tampak marah sekali karena terlalu banyak masalah yang aku alami baik dalam kelas atau sehabis sekolah. Entahlah kenapa nasibku malang sekali sehingga harus setiap hari menjalani hukuman tapi aku nggak bisa kalau harus berangkat pagi-pagi benar. Aku harus Bantu ibuku menyapu.
“Ya, sudah lah aku lebih baik pulang Bantu ibuku.” Kataku kembali memutar arah.
Di jalan diantara lorong-lorong sempit selalu terbayang wajah sang ibu yang merestui untuk berangkat sekolah sehingga malaikat-malaikat menebarkan sayapnya dusetiap sudut jalanku. Namun hari ini kenapa harus seperti ini. sesampai di tikungan perempatan aku melihat pohon rindang sekali yang dijadijadikan tempat singgah oleh orang datang dari sawah. Masih celana dan bajunya basah kuyup dengan Lumpur, aku mendekati orang itu dan akupun ditanya kok nggak sekolah Nak.
“Aku telat pak nggak bisa masuk.” Kataku sama Bpk itu
“Ya guru sekarang begitu, nggak tau ayahnya kayak gini kesawah ingin menyekolahkan anaknya. Eeeh malah begitu.” Sambungnya dengan nada mellas
“Nggak taulah pak. Aku karena Bantu ibu pagi jadi agak telat kesekolah.” Sambungku sambil menatapa wajahnya.
Lama sekali perbincanganku bersama kakek tua itu sehingga basah bajunya hilang menjadi kering, Lumpur-lumpur menempal nggak kerasa mungkin semua Ini suah menunnjukkan betapa perjuangannya orang tua kita sehingga harus seperti ini. mungkinkah pemerintah pernah memperhatikan orang-orang yang kayak gini.?
 Cahaya mentari sore ini seolah menandakan kalau aku harus membantu ibuku mencari kayu ke lading belakang rumah, sehingga setiaphari ibu selalu masuk kabut-kabut besar, kelihatannya kabut itu terlalu banyak hewan buas. Keringat ibu mengalir ketubuhnya menjadikan saksi bisu.
Ayahku kelihatan tampak bahagia sore ini sehingga tertaw bersama dalam kabut itu kelihatannya tampak mesrah sekali seolah ke abadian untuk selamanya. Pohon cemara udang menjadi lambang mesrah keluargaku sehingga sore ini dosa yang aku perbuat uda terhapuskan meski memendah waktu pada waktu yang lain.
“Anisa. Kamu kemana nak.” Panggil ayah
“Aku ada diatas yah.”
“Jika ayah nanti nggak bersuara kamu kesini yaaa.” Sambung ayah
“Iya ayah.”
Lima menit waktu menjadi angin menghantuiku seolah ayah jua ibu dimakan harimau jua ular yang berbisa lamunanku pecah karena kakek tua lewat menggendong rumput bertongkat setengah bayah taklayak lagi jika ia harus melakukan kelakuan seberat ini.
“Mari nak.” kata kakek itu bersuara di belakangku
“Iya mari kek. Baru datang apa kek malam gini” sambungku
melihat matahari mulai meraba bumi barat sehingga aku tak tega melihatnya, jika semua ini harus terjadi pada keluargaku apa yang harus aku perbuat, angin-angin kencang meniup rambut ubannya sehingga sangat terlihat sekali botak kepalanya dan rambut uban yang agak sedikit panjang. Lalu lalang kakek tua itu duduk di atas bongkahan batu kecil sehingga ia sangat terlihat begitu lelah, badannya kurus kering menampakkan dirinya sebagai orang yang kelaparan tidak makan seharian bahkan mungkin dua hari.
Suara dalam kabut sepi tiada suara canda tawa kembali sehingga aku harus melihatnya kebawa aku berfikir, jangan-jangan. Aku takkuasa melihat ayah dan ibuku tersungkur kakuh di rumput-rumput kabut, mulutnya berdarah kakinya berdarah semuanya sudah kelihatan pucat sekali.
“Tolong… tolong… tolong.” Aku berteriak dalam kabut
“Ada apa nak.”
“Tolong Ayahku dan Ibuku.”
“Loh kok bisa disini.” Katanya kakek itu memegang tangan ayahku
kakek yang terlihat kurus berbadan kerempeng kepala botak rambut uban, ternyata ia sangatlah kuat. Sehingga ayah dan ibuku terangkat ke atas. Namun ia langsung lari untuk minta tolong warga setempat untuk membawanya kerumah. Sesampai dirumah ayah memanggil kakek itu utuk menemuinya kekamar entah apa yang di bicarakan. Sepertinya emang tentang dirinya mengenai pengobatan.
Suara malam mengetuk jendela senja sehingga akan menghadirkan senja untuk menghapus gejala-gejala, jejak kotor manusia. Sangat tak kuasa menahan diri untuk menangis karena Ayah jua Ibuku waktu subuh sudah meninggalkan dunia untuk mencari alam yang lebih nyaman, Adikku keluarga yang lain akhirnya datang kerumah karena suara tangis adikku jua aku taksanggup di reda. Kakek tua selalu berbisik dekat hingga menempel ke telingaku ia selalu berbicara “sabar yaaa nak manusia pasti akan memenuhi panggilannya.”. ayah akan di kebumikan tepatnya jam 02.00 semuanya sudah siap.
Namun tiga hari lagi aku akan UN aku harus bagaimana jika semua ini begini, aku duduk bersimpuh rapu di jendela kosong akhirnya kakek itu selalu menghiburku lagi-lagi adikku yang tiada hentinya menangisi Ayah jua Ibu. Aku sempat berfikir kenapa tuhan harus menguji ummatnya dengan sangat berat sekali seolah segalanya yang aku punya sudah di ambil. Kakek selalu menggendong adikku setiap kali ia akan di gendong selalu mengatakan kakek itu Ayah.
Esok aku UN kepada siapa aku harus mengadu Ayah, Ibu sudah tidak ada keluarga jua nggak ada hingga akhir ini aku bingung bagaimana untuk siapa selalu menjadi pertanyaanku setiap waktu.
“Nak aku ada titipan dari ayahmu.” Tiba-tiba kakek berbicara di belakangku
“Apa kek.” Sambungku
“Ini… pensil untuk ujianmu.” Kakek itu sambil mengalurkan tangannya yang memegang pensil
Sebelum aku mengambil pensil, tercipta wajah-wajah lelah sang Ayah serta Ibu yang tiapkali mengingatkan sekaligus pengurbanannya yang tampak jelas di mata sehingga alam-alam sekitar berubah menjadi suasana seolah sempit. Ketika kakek memasrahkan untuk menjaga pensil itu semalam aku tak bisa memejamkan mata sehingga tak ada satu buku UN yang aku buka sementara besok aku harus ujian baru sadar ketika subuh mulai menyusup ke telinga dan waktu yang kosong.
Beberapa waktu terlewati sehingga kini aku duduk di bangku UN. Tangan-tangan takkuasa memegang pensil melihat soal-soal yang membacaku bukan aku membaca soal. Seolah semuanya tampak jelas KETIDAK LULUSANku.  Tiga hari aku lalui UN sehingga akhirnya aku selesai mengerjakannya dengan baik. Sesampai pengumuman pelulusan ada suara-suara tajam dalam dada sehingga ia bilang kalau aku tidak lulus. Namun akhirnya Aya jua Ibu mendatangi prasaanku ia bilang kalau aku lulus. Kekuatan apa yang sehingga aku bisa yakin dan meyakini semua ini. lalu lalang jalan waktu aku lalui. Akududuk di deadpan rumah dimana tempat Ibu duduk tiap pagi, tiba-tiba ada dieny memanggilku memecahkan anganku mengabarkan kalau aku lulus UN.
Sekarang yang ada dalam otakku kemana aku harus pergi menuntut ilmu. Karena ekonomi terbatas malah yang ada akan menjadi pengangguran seperti teman-teman lain di lingkunganku, Ayah dulu berpesan kalau aku harus menjadi orang sukses. Akhirnya aku memutuskan dirumah untuk sementara waktu. 

sumber      :  Ade Hardiyanto



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates